Oleh: Syawaludin Arsyal Amala (Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Islam Sultan Agung)
INDUSTRI tambang nikel tengah menjadi primadona baru dalam perekonomian Indonesia. Seiring geliat hilirisasi dan ambisi menjadi pemain utama baterai kendaraan listrik dunia, investasi miliaran dolar mengalir ke kawasan seperti Morowali, Konawe, hingga Halmahera. Namun, di balik megahnya smelter dan deru alat berat, terdapat persoalan mendasar yang mengancam kelangsungan industri ini: tingginya angka turnover atau keluar-masuk karyawan.
Bukan sekadar persoalan pekerja yang “lompat pagar” ke perusahaan sebelah, turnover juga mengindikasikan lemahnya fondasi pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Jika terus dibiarkan, risiko terbesarnya bukan hanya biaya rekrutmen ulang atau pelatihan teknis, tetapi juga kerugian produktivitas dan rusaknya kesinambungan operasional.
Mengapa Banyak yang Pergi?
Kerja keras, Hidup terisolasi
Sebagian besar tambang nikel berada di daerah terpencil. Meskipun gaji kompetitif, banyak pekerja mengaku stres karena jauh dari keluarga, minim hiburan, dan jam kerja yang panjang. “Uang ada, tapi nggak bisa dinikmati,” keluh seorang teknisi di Sulawesi Tengah.
Tidak ada kepastian jenjang karier
Banyak operator atau teknisi merasa stagnan. Pelatihan minim, promosi tidak jelas, bahkan banyak yang merasa “dipakai” lalu ditinggalkan begitu saja.
Kompensasi tak sebanding dengan risiko
Setiap perusahaan memiliki standar gaji yang berbeda. Pekerja lokal sering merasa kalah jauh dibandingkan tenaga asing, meskipun sama-sama berjibaku di lapangan.
Budaya kerja yang kaku dan otoriter
Tak sedikit karyawan mengeluhkan manajemen yang tidak mendengarkan aspirasi. Tidak ada ruang dialog, hanya instruksi satu arah.
Solusi Bukan Sekadar Menaikkan Gaji
Masalah turnover ini tidak bisa diselesaikan dengan uang semata. Dibutuhkan pendekatan yang lebih strategis dan manusiawi.
Berikut beberapa rekomendasi yang layak dipertimbangkan:
Bangun lingkungan kerja yang layak dan manusiawi
Fasilitas perumahan yang nyaman, akses komunikasi, transportasi keluarga, hingga ruang ibadah dan rekreasi sederhana dapat membuat pekerja betah.
Rancang jalur karier yang jelas
Berikan pelatihan berkala, sistem promosi yang transparan, serta pendampingan dari tenaga senior. Pekerja akan bertahan jika mereka tahu ke mana arah masa depan mereka.
Dengarkan suara pekerja
Adakan forum dialog secara rutin. Libatkan karyawan dalam pengambilan keputusan kecil. Mereka tidak butuh dilayani, tetapi dihargai.
Audit ulang sistem kompensasi
Lakukan perbandingan dengan perusahaan lain (benchmarking), dan pastikan keseimbangan antara beban kerja dan manfaat yang diterima.
Perkuat budaya organisasi yang kolaboratif
Bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga nilai-nilai kerja sama, saling percaya, dan apresiasi terhadap kontribusi.
Momentum Pembenahan
Masalah ini bukan untuk disesali, melainkan dijadikan momen refleksi. Jika Indonesia ingin menjadi pusat industri nikel dan baterai dunia, kita harus mulai memperlakukan tenaga kerja sebagai aset strategis, bukan sekadar angka produksi.Industri tambang bisa menjadi simbol masa depan hijau.
Namun, masa depan itu tidak akan hadir tanpa perhatian serius pada sisi manusianya. Turnover tinggi adalah sinyal bahwa kita sedang kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang setiap hari berjibaku menggerakkan industri ini.
(Syawaludin Arsyal Amala adalah mahasiswa Magister Manajemen Universitas Islam Sultan Agung. 📧 Email: arsyal.syawaludin@gmail.com)