Oleh: Taufan Pratama Zasya., B.A., M.A. (Peneliti Geopolitik Sumber Daya Alam)
KETIKA Mahkamah Konstitusi resmi menolak gugatan pasangan Sulianti Murad–Samsul Bahri atas hasil Pilkada Banggai 2024, banyak orang mengira babak itu sudah selesai. Namun tidak. Itu justru awal dari babak baru perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang menindas lewat kebun sawit, korporasi, dan kepemilikan tanah.
Pada awal Juni 2025, Gubernur Sulawesi Tengah resmi melantik Amirudin Tamoreka dan Furqanuddin Masulili (AT–FM) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Banggai periode 2025–2029. Pelantikan ini menjadi penanda dua hal penting dalam sejarah daerah tersebut:
1. Untuk pertama kalinya, Banggai berhasil mencetak bupati dua periode berturut-turut, mematahkan mitos politik lokal selama dua dekade.
2. Lebih dari itu, pelantikan AT–FM menjadi titik balik keruntuhan kekuatan ekonomi-politik berbasis sawit yang selama ini membentuk “dinasti diam-diam” di wilayah selatan Kabupaten Banggai.
Dua Kali Kalah, Satu Dinasti Tumbang
Sulianti Murad adalah bukan tokoh biasa. Ia adalah representasi dari elite lokal dan pemilik PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), perusahaan sawit terbesar yang beroperasi di Kecamatan Toili dan Toili Barat. Perusahaan ini telah lama menjadi sorotan atas berbagai praktik menyimpang: penyerobotan lahan petani, pemaksaan sistem plasma tanpa perjanjian adil, hingga dugaan pengelolaan kawasan hutan lindung Suaka Margasatwa Bakiriang secara ilegal.
Dalam dua periode Pilkada terakhir (2020 dan 2024), ia maju sebagai calon bupati dan dua kali kalah. Kekalahan ini bukan hanya kegagalan politik personal—tetapi juga simbol kehancuran dinasti ekonomi yang mencoba menjajah lewat jalur kekuasaan publik.
Politik Agraria, Bukan Sekadar Pilkada
Kemenangan AT–FM memang hanya selisih 897 suara—angka kecil, tapi dengan makna yang besar. Ini bukan sekadar tentang figur, tapi tentang rakyat yang berkata cukup: cukup terhadap politik yang melindungi korporasi, cukup terhadap pemimpin yang memiliki bisnis lalu membuat kebijakan untuk melayani usahanya sendiri.
Sebagian rakyat menyebutnya “Dinasti Sawit”. Selama bertahun-tahun, mereka hidup di bawah bayang-bayang dominasi KLS: dilarang menjual buah sawit ke luar perusahaan, ditekan secara sosial, bahkan dalam beberapa kasus—dilaporkan ke aparat hukum karena memperjuangkan hak tanahnya.
Pilkada ini menjadi saluran perlawanan. Dan hasilnya jelas: dinasti itu tumbang.
Runtuhnya KLS: Simbol Perubahan Arah Banggai
PT Kurnia Luwuk Sejati kini tidak hanya menghadapi krisis legitimasi sosial. Mereka juga sedang disorot oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah atas dugaan pelanggaran kehutanan dan pengelolaan kawasan lindung tanpa izin. DPRD Banggai pun mendorong peninjauan ulang izin HGU perusahaan yang sebagian besar telah habis sejak 2021.
Lebih dari sekadar konflik lahan, ini adalah soal masa depan tata kelola tanah, relasi ekonomi yang adil, dan keberanian pemerintah untuk berpihak pada petani. Jika pemimpin di Banggai sungguh berpihak pada rakyat, maka inilah momen untuk melakukan audit agraria, pembenahan sistem plasma, serta pemulihan hak-hak yang dirampas.
Kemenangan Tipis, Amanat Besar
Kini, AT–FM bukan hanya pemimpin terpilih dua periode. Mereka memikul amanat besar: menuntaskan warisan konflik struktural, menegakkan keberanian moral untuk menindak perusahaan-perusahaan yang selama ini kebal hukum, serta membangun ekonomi Banggai yang tidak eksklusif, tetapi inklusif dan berkeadilan.
“Selamat tinggal KLS,” bisik seorang warga dalam sebuah unggahan media sosial, “Kami tidak lagi takut.”
Saatnya Politik Membebaskan, Bukan Mengamankan Investasi Ilegal
Runtuhnya dominasi KLS di kancah politik lokal adalah momentum langka. Tapi kemenangan ini harus dikawal. Rakyat Banggai telah memilih jalan perlawanan lewat pemilu, dan kini mereka berharap hasilnya bukan sekadar perubahan wajah pemerintahan—tetapi perubahan fondasi keadilan sosial.
Kemenangan AT–FM adalah kemenangan rakyat. Sekarang, perjuangan baru dimulai.