Jika boleh ditebak, salah satu problem utama partai adalah gagalnya kaderisasi partai (Gun Gun, 2018). Realitas menunjukkan bahwa kader-kader terbaik partai tak mulus melenggang ke Senayan. Mayoritas bertumbangan melawan popularitas artis, tokoh agama, tokoh masyarakat, mantan birokrat militer & sipil, serta kelompok pengusaha. Para kader gigit jari, mereka merasa membangun partai tapi tak dapat apa-apa.
Fakta itu dengan sendirinya menjadi bukti bahwa mekanisme proporsional terbuka menyediakan pilihan inklusif bagi masyarakat. Jadi, sehebat-hebatnya kader partai dengan segudang pengalaman dan senioritasnya, pada akhirnya kalah telak oleh popularitas dan kemampuan kapital kader di luar partai. Disitu kelebihan mekanisme proporsional terbuka.
Dengan pengalaman itu, partai mulai melirik aset di luar organisasi. Mereka berebut tokoh media darling yang dapat dilabeli atribut guna mendongkrak popularitas partai. Kelak akan dijadikan semacam petugas partai seperti kasus Jokowi. Jangan heran tokoh-tokoh seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, maupun Ganjar Pranowo yang tak sepenuhnya dianggap kader tulen menjadi rebutan hari-hari ini.