Kegagalan kaderisasi itu jelas adanya di mekanisme. Proporsional terbuka tak menjanjikan elektabilitas kader partai meski di posisi teratas. Andai mekanismenya tertutup, hanya kader terbaik dengan urutan topi yang akan melenggang ke Senayan, bukan artis, mantan birokrat maupun pengusaha yang mengandalkan citra dan uang. Disini bisa dimengerti mengapa partai penguasa yang relatif solid menginginkan perubahan mekanisme.
Mekanisme proporsional terbuka sejauh ini hanya menjadikan partai tak lebih sebagai event organizer. Partai sebatas menyodorkan menu, rakyat yang memilih, entah sukarela maupun dimobilisasi. Malangnya, mereka yang telah melalui proses kaderisasi partai justru tak punya masa depan melawan kekejaman mesin mekanisme proporsional terbuka.
Mekanisme itu jelas mengandung dilema kritis. Di satu sisi partai butuh kader terpercaya untuk mewakili dirinya di Senayan, namun disisi lain hak memilih justru berada di tangan rakyat. Disini performa partai dipertaruhkan dihadapan pemilih. Faktanya, meski menu yang ditawarkan relatif berkualitas dengan packaging tertutup, tetap saja masih kalah menarik dibanding menu yang relatif instant, terbuka serta variatif. *