Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

Tansformasi Paradigma Pembangunan Ekonomi

×

Tansformasi Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh : Abdul Rahman Lasading (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Tadulako)

PERKEMBANGAN bangsa-bangsa di dunia telah mengalami beberapa kali perubahan paradigma, mulai dari paradigma pertumbuhan, paradigma kemakmuran, ekonomi baru, dan ketergantungan hingga paradigma pembangunan manusia. Namun pada hakikatnya ada tiga paradigma pembangunan.

Example 300x600

Kedua, peralihan paradigma pertumbuhan ke paradigma kesejahteraan. Ketiga, paradigma pembangunan (paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia) yang berfokus pada orang.

Secara sederhana pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. 

Komponen paling penting dalam pembangunan ekonomi yang saling berkaitan : Pertama, Pembangunan sebagai suatu proses. Pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh setiap masyarakat atau bangsa.

Sebagai contoh, manusia mulai lahir, tidak langsung menjadi dewasa, tetapi untuk menjadi dewasa harus melalui tahapan-tahapan pertumbuhan. Demikian pula, setiap bangsa harus menjalani tahap-tahap perkembangan untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera.

Kedua, Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan perkapita. 

Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua elemen yang terdapat dalam suatu negara untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan perkapita mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, Peningkatan pendapatan perkapita harus berlangsung dalam jangka panjang. Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan perkapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Hal ini tidak berarti bahwa pendapatan perkapita harus mengalami kenaikan terus menerus.

Misalnya, suatu negara terjadi musibah bencana alam ataupun kekacauan politik, maka mengakibatkan perekonomian negara tersebut mengalami kemunduran. Namun, kondisi tersebut hanyalah bersifat sementara yang terpenting bagi negara tersebut kegiatan ekonominya secara rata-rata meningkat dari tahun ke tahun.

Sementara dalam usaha atau dalam proses tersebut selalau saja menemui permasalahan untuk mewujudkan tujuan pembangunan yang lebih pesat dan terutama dalam peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat semakin kompleks kita temui di lapangan.

Pelaksanaan pembangunan menghadapi berbagai hambatan dalam mendorong tingkat pertumbuhannya. Disatu pihak, sumberdaya yang tersedia tidak cukup untuk mendorong proses pembangunan.

Dipihak lain, luasnya wilayah sebagai objek pembangunan yang memiliki kondisi khas dan sumberdaya unggulan sendiri merupakn potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pelaksanaan pembangunan pada berbagai aspek guna mencapai tujuannya.

Masalah Pembangunan Ekonomi

Secara umum, Todaro (2000:21-22) menyebutkan tiga tujuan pokok yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan, sebagai berikut : (1) Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai maacam barang kebutuhan hidup yang pokok.

(2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penyediaan lapangan kerja, perbaikan pendidikan, serta peningkatan perhatian nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesehjahteraan materil, melainkan juga menumbuhkan jatidiri setiap indivindu dan bangsa.

Baca juga:   Banggai Sustainable : Pembangunan Yang Berpusat Pada Manusia

(3) Perluasan rentang pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu dan bangsa, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-negara yang lain, namun juga terhadap seluruh kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Berbagai macam pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunan itu sendiri, namun ada banyak hal yang kita temui dilapangan mengenai tujuan pembangunan yang semakin timpang. 

Pada satu sisi pertumbuhan ekonomi yang mengalami kenaikan, tapi pada satu sisi masih banyak menyisakan berbagai macam persoalan berupa kemiskinan, kerusakan ekologis, dan konflik antar masyarakat dalam upaya berebut sumber daya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. 

Konsep pembangunan ekonomi yang timpang tersebut harus dievaluasi agar ketimpangan pembangunan segera teratasi. Pertanyaannya kemudian adalah konsep pembangunan apa yang harus di evaluasi. 

Mengutip dalam satu artikel yang ditulis oleh Moh. Ahlis Djirimu yang berjudul “Alarm Ketimpangan Pembangunan di Sulawesi Tengah”. Ia menulis bahwa “penyebab utama ketimpangan adalah rezim yang paradigmanya belum bertransformasi dari paradigma “Pertumbuhan Ekonomi” menjadi “Pertumbuhan Berkeadilan”.

Transformasi Pertumbuhan Ekonomi ke Pertumbuhan Berkeadilan

Beberapa paradigma pembangunan menunjukkan bahwa teori dan penerapan paradigma pembangunan ekonomi di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan (perbaikan).

Teori modernisasi terutama menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budaya sebagai tema utama pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori utama ketika mengkaji permasalahan pembangunan Indonesia. Teori ini telah dikemukakan oleh para ilmuwan sosial (termasuk ekonom) dan pejabat pemerintah (Budiman, 2000).

Dari sudut pandang teori pembangunan, pernyataan Budiman (2000) ada benarnya, namun masih perlu diperjelas bahwa pernyataan tersebut lebih tepat untuk perkembangan era orde baru (sejak awal tahun 1970-an) yang yang menerapkan planned economy dengan pola “Growth First then Distribution of Wealth” atau yang lebih dikenal dengan strategi trickle down effects, mengadopsi model Rostow yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dibandingkan faktor manusia dan nilai budaya sebagai salah satu masalah pembangunan.

Acuannya jelas, melampaui tahapan pembangunan (pertumbuhan dan peningkatan), kebijakan ekonomi multisektor dan munculnya elit politik yang tunduk pada penguasa untuk mencapai gengsi ekonomi (kekayaan) dan marginalisasi lebih lanjut kepada rakyat kecil dan pekerja.

Rostow mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat, yaitu perubahan politik, struktur sosial, nilai-nilai sosial dan struktur kegiatan ekonomi (Suryana, 2000), sehingga untuk mendorong keberhasilan pembangunan ekonomi, diperlukan upaya-upaya baru.

Konglomerat diperlukan untuk mendorong pelaksanaan kekuatan pembaruan. Dalam merancang dan mengimplementasikan program-program pembangunan, rezim Orde Baru menerapkan pola Top Down di mana semuanya berasal dari atas (pemerintah), dan sangat mengabaikan pola Button Up.

Dengan demikian, hampir tak ada ruang publik bagi masyarakat untuk berpartisipasi, termasuk dalam turut mempengaruhi kebijakan-kebijakan pembangunan. Alternatif pelaksanaan pembangunan di luar yang ditawarkan negara, dapat dikatakan nihil (Azis dan Tim CPPS, 2001).

Baca juga:   Program Pemda Kabupaten Banggai di Mata Perempuan

Strategi pertumbuhan ekonomi dengan pola konglomerasi juga menghasilkan dampak yang mengerikan, yaitu bahwa pertumbuhan tinggi namun kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin lama semakin jauh. Si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Akibatnya adalah tidak tertampungnya kapasitas ekonomi kelas bawah dalam dinamika ekonomi nasional yang lebih sehat.

Banyak orang percaya bahwa peningkatan ketimpangan adalah normal bagi negara yang sedang berkembang. Ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi membutuhkan kapital yang dibentuk melalui tabungan masyarakat. Tumbuhnya golongan kaya membuat akumulasi kapital lebih cepat.

Namun, dengan munculnya “teori pertumbuhan baru”, nilai hipotesis ini berkurang. Teori ini menekankan bagaimana peran aset manusia (human capital) dalam pertumbuhan.

Inovasi, bukan akumulasi kapital, adalah sumber pertumbuhan utama, menurut studi empiris. Misalnya, inovasi menyumbang 40% hingga 60% dari pertumbuhan ekonomi negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD; Organisation for Economic Co-operation and Development) di tahun 1950-an dan 60-an. Kualitas sumber daya manusianya mendorong inovasi.

Untuk pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dalam akumulasi human capital berbahaya karena kesempatan negara untuk membangun talent pool yang besar akan hilang dan inovasi akan berjalan lebih pelan. Kita menyadari bahwa meskipun mekanisme pasar menjanjikan efisiensi, mereka tidak memberikan keadilan.

Kami menanggapi dengan mengutip konsep “efisiensi berkeadilan” yang terkandung dalam amendemen UUD 1945. Paradigma ini disebut “pertumbuhan berkeadilan”. Namun, paradigma ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah dasar yang menyebabkan ketimpangan yang semakin meningkat, meskipun dipromosikan untuk waktu yang lama.

Ini karena keadilan dinomorduakan dalam filosofinya yang masih mengutamakan pertumbuhan. Paradigma pembangunan ekonomi yang lama, konsep “tumbuh dulu redistribusi kemudian”, telah hilang dari praktik keadilan yang sebenarnya.

Selain itu, teori-teori baru dan bukti empiris yang ditemukan dalam penelitian ekonomi pembangunan semakin menunjukkan bahwa keadilan adalah kunci pertumbuhan ekonomi.

Arief Anshory Yusuf (2014) menulis dalam artikelnya : “John Roemer, seorang filsuf dan matematikawan dari Yale University, mempunyai jawaban.

Ketimpangan pendapatan, menurut dia, bisa didekomposisi berdasarkan dua sumbernya: ketimpangan dalam usaha (effort) dan ketimpangan dalam prakondisi (circumstances) di luar kendali individu. Ketimpangan pada tingkatan tertentu yang disebabkan perbedaan effort individu tidak dapat dihindari.

Akan tetapi, karena individu tidak bisa memilih di mana harus dilahirkan, negara perlu menjamin tidak terjadi ketimpangan dalam prakondisi dengan memberikan pemerataan kesempatan, terutama dalam akses terhadap kebutuhan dasar dalam rangka akumulasi human capital.

Mungkin inilah saatnya paradigma dalam mengelola pembangunan ekonomi Indonesia harus diubah. Keadilan jangan diletakkan setelah pertumbuhan. Pemerataan kesempatan jangan diartikan sebagai bentuk belas kasihan.

Pemerataan kesempatan justru adalah pemenuhan prasyarat untuk pertumbuhan. Paradigma pertumbuhan berkeadilan harus segera ditinggalkan dan digantikan dengan paradigma keadilan untuk pertumbuhan. *

Example 300250
Example 120x600
Opini

Oleh: Abdul Rahman Lasading SEBAGAI penanda perubahan yang…